Jumat, 09 Desember 2011

teori puisi


        Menurut Zainuddin Fananie (2001: 99) struktur puisi pada dasarnya mempunyai dua unsur, yaitu surface structure (struktur luar) dan deep structure (struktur dalam). Struktur luar puisi berkaitan dengan bentuk, sedang unsur dalam berkaitan dengan isi atau makna. Struktur luar terdiri dari pilihan kata (diksi), stuktur bunyi, penempatan kata dalam kalimat, penyusunan kalimat, penyusunan bait dan tipografi. Ada pun struktur dalam adalah struktur yang berhubungan dengan tema, pesan, atau makna yang tersirat di balik struktur luar. Berikut akan diuraikan struktur luar dan struktur dalam sebuah puisi.
a.       Struktur Luar (surface structure), meliputi:
1)      Pilihan Kata (diksi)
  Pilihan kata merupakan hal yang esensial dalam struktur puisi karena kata merupakan wahana ekspresi utama. Setiap kata akan mempunyai beberapa fungsi, baik fungsi makna, fungsi bunyi, maupun fungsi pengungkapan nilai estetika bentuk lainnya, yakni mampu mengungkapkan eskpresi yang melahirkan pesan-pesan tertentu.
  Untuk tujuan tersebut, pilihan kata bisa diambil dari kata-kata yang mengandung makna leksikal atau makna denotatif, tetapi dapat pula mengandung makna konotatif dan simbolis, sesuai sifat puisi yang multiinterpretabel, kata-kata yang bermakna simbolis umumnya menjadi pilihan dari pengarang puisi.
Simbolisme kata dalam puisi dapat berupa: (a) blank symbol, yaitu kata yang mengungkapkan simbol-simbol tertentu yang acuan maknanua bersifat universal sehingga pembaca tidak begitu kesulitan untuk menfasirkannya. Kata-kata tersebut misalnya, lembah hitam, kaca retak, kata-kata nuansa warna, dan sebagainya; (b) natural symbol, yaitu kata-kata yang mengungkapkan simbol-simbol realitas alam sebagai bahan proyeksi kehidupan. Simbol tersebut bisa berupa kehidupan binatang, fenomena air, udara, hutan, dan sebagainya; dan (c) private symbol, yaitu kata-kata yang mengungkapkan simbol yang secara khusus dicipta dan digunakan penyair untuk mengungkapkan keunikannya atau gaya ciptaannya. Perhatikan contoh berikut:
kucing meraung dalam darah meronta dalam aorta
mendekam dalam tiap zarah marwah
dalam tiap kata diriku
hai Kau dengan kucing memanggilMU
aku biarkan penyair dengan katakata
tapi banyak yang meletakkan bertonton gula purapura
bergerobak kerak filsafat
                                                      (Sutardji, O, Amuk)


2)      Unsur Bunyi
  Unsur bunyi merupakan hasil penataan kata dalam struktur kalimat. Pada puisi-puisi lama seperti pantun dan syair, penyusunan bunyi merupakan bagian yang mutlak karena stuktur tersebut merupakan bagian penanda bentuk. Pada pantun misalnya, struktur bunyi selalu bersajak ab, ab, sedang pada syair stuktur bunyi selalu bersajak aa aa.
  Pada puisi baru atau kontemporer struktur penyusunan bunyi tidak lagi melalui satu patokan khusus. Meskipun demikian, persoalan bunyi masih tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kaitan memunculkan ekspresi estetik. Adanya ketidakbakuan stuktur bunyi pada puisi baru atau kontemporer menyebabkan variasi bunyi yang dimunculkan pengarang menjadi sangat beragam.
  Ragam tersebut mencakup: (1) rima, yaitu bunyi-bunyi yang sama dan diulang baik dalam satuan kalimat maupun pada kalimat-kalimat berikutnya yang mampu memberikan efek tertentu. Rima tersebut dapat berupa (a) asonansi atau keruntutan vokal yang ditandai oleh persamaan bunyi vokal pada satu kalimat seperti: rindu, sendu, mengharu kalbu. Pengulangan vokal u pada kalimat tersebut secara tidak langsung telah memunculkan satu keselarasan bunyi; (b) aliterasi atau purwakanthi, yaitu persamaan bunyi konsonan pada kalimat atau antar kalimat dalam puisi. Misalnya: Semua epi sunyi sekali/ Desir hari lari berenang.; (c) rima dalam, yaitu persamaan bunyi (baik vokal maupun konsonan) yang berlaku antara kata dalam satu baris. Misalnya: senja samar sepoi.; dan (d) rima akhir, yaitu persamaan bunyi pada akhir baris. Misalnya: Ke manakah jalan/ mencari lindungan/ ketika rubuh kuyub/ dan pintu tertutup.; dan (2) Irama, yaitu paduan bunyi yang menimbulkan aspek musikalitas atau ritme tertentu. Ritme tersebut bisa muncul karena adanya penataan rima, pemberian aksentuasi, intonasi, dan tempo ketika puisi tersebut dibaca. Model tersebut misalnya dapat dilihat pada puisi Sutardji berikut: /batu mawar/ batu langit/ batu duka/ batu rindu/ batu jarum/ batu bisu/ kaukah itu/ teka/ teki/ yang/ tak menepati janji ? Pilihan kata dan susunannya dalam struktur kalimat ditekankan pada aspek bunyi dan irama. Pengulangan kata-kata dan persajakan yang disejajarkan merupakan penanda bahwa aspek bunyi atau irama merupakan hal yang mendapat perhatian utama pengarang dalam kaitannya untuk memunculkan aspek musikalitas.
b.      Struktur Dalam (deep structure)
   Struktur dalam puisi adalah makna yang terkandung di balik kata-kata yang disusun sebagai stuktur luarnya, sehingga untuk memahami makna dalam puisi perlu diintepretasikan, direnungkan, dikaitkan antara keberadaan kata yang satu dengan kata yang lain, antara keberadaan fenomena yang satu dengan fenomena yang lain.
  Menurut Culler (1975: 57) untuk sampai pada hakikat pengertian sebuah puisi tidak mungkin memaknai kata-kata yang ada secara terpisah, melainkan harus dikembalikan dalam konteks struktur, baik dalam konteks stuktur bunyi, struktur kalimat, struktur bait, maupun struktur puisi secara keseluruhan. Kajian ini disebut sebagai kajian struktural, sebagaimana yang dikemukakan oleh Teeuw (1983: 63), bahwa kajian stuktural merupakan prioritas utama, sebelum yang lain-lain, tanpa itu kebulatan makna intrinsik  yang hanya dapat digali dari karya itu sendiri tidak akan tertangkap. Lebih jauh, Rahmad Djoko Pradopo (1993: 141) menyatakan bahwa makna unsur-unsur karya hanya dapat dipahami dan dinilai sepenuhnya atas dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu dalam keseluruhan karya.


Sejalan dengan wawasan tersebut, aspek umum yang terkandung dalam puisi adalah pertama paparan bahasa sebagai bangun struktur, kedua pesan yang dikandungnya, dan ketiga adalah aspek keindahan. Paparan bahasa sebagai salah satu aspek yang terkait dengan bentuk struktur meliputi: (1) bunyi, (2) kata, (3) kalimat, (4) paragraf atau alinea, dan (5) teks. Wujud bunyi  dalam puisi yang hadir secara tertulis berkaitan dengan tipografi. Wujud satuan kalimat dalam puisi lazimnya terpapar dalam bentuk satuan larik, sedangkan paragraf atau alinea terwujud dalam bentuk bait. Kemudian sejalan dengan keberadaan dan penyajiannya salah satunya berkaitan dengan diksi dan gaya bahasa.
    Aspek pesan berkaitan dengan makna, isi yang tersirat dan yang terkandung dalam puisi. Seperti diuraikan di bawah nanti ada berbagai model pilihan makna dalam puisi dengan perspektif yang diambil.
   Aspek keindahan dalam puisi pada dasarnya berkaitan dengan keseluruhan aspek yang terkandung dalam puisi, baik itu dengan aspek paparan bahasa maupun pesan yang didalamnya. Sesuai dengan masalah yang digarap dalam kerangka teori ini pembahasan masalah keindahan hanya dihubungkan dengan masalah bunyi dan aspek yang berkaitan dengan citraan.
2.1    Bangun Struktur Puisi
Seperti telah diuraikan di atas, bangun struktur puisi yang meliputi aspek bunyi, kata, kalimat, paragraf, dan teks akan terwujud dalam bentuk paparan bahasa. Di dalam puisi aspek-aspek tersebut akan terbagun dalam bentuk tipografi dari aspek bunyi, diksi dan bahasa kias dari aspek kata, baris dari aspek kalimat, kumpulan baris atau bait dari aspek paragraf, dan teks utuh puisi. Sehubungan dengan itu, dalam uraian bangun struktur puisi akan dibahas ( 1 ) bunyi dalam puisi, ( 2 ) diksi dalam puisi, ( 3 ) larik dalam  puisi , ( 4 ) bait dalam puisi, dan ( 5 ) bahasa kias dalam puisi.
2.1.1        Bunyi dalam puisi
Secara kongrit wujud puisi pada dasarnya ada dalam bentuk tulisan. Meskipun demikian wujud tulisan tersebut dapat diabtrasikan ke dalam bentuk bunyi karena tulisan memang hanya merupakan kongritisasi gejala bunyi secara lisan. Berangkat drkenyataan tersebut, kreasi dalam puisi akhirnya juga memperhatikan aspek bunyi, karena bunyi dalam puisi di samping berperan menuansakan gagasan dan  suasana, juga berperan dalam memberikan efek keindahan. Berkaitan dengan peran bunyi yang terakhir di atas Pradopo  mengatakan bahwa bunyi dalam puisi  merupakan unsur untuk mendapatkankeindahan dan tenaga yang ekspresif.
Seperti halnya dalam bahasa sehari-hari bunyi dalam puisi secara umum dapat dipilih menjadi dua jenis yakni bunyi vokal dan bunyi konsonan. Ditinjau dari keberadaan atau ciri hubungannya, lebih lanjut bunyi dalam puisi dapat dibedakan     ( 1 ) hubungan antar bunyi vokal dalam satuan larik, ( 2 ) hubungan antar bunyi vokal antar larik, ( 3 ) hubungan antar konsonan dalam satuan larik, dan ( 4 ) hubungan antar bunyi konsonan antar larik.
Hubungan antar vokal pada posisi awal dalam satuan larik disebut asonansi. Sedangkan hubungan antara bunyi konsonan pada posisi yang sama dalam satuan larik disebut aliterasi. Contoh asonansi dalam puisi misalnya puisi “ Expatriate “ karya Gunawan Mohammad pada larik “ Akulah Adam dengan mulut yang sepi “. Pada larik tersebut dapat ditemukan paduan suara antara bunyi a pada akulah dengan a pada Adam. Sedangkan contoh aliterasi dapat ditemukan pada puisi “ Aku “ karya Chairil Anwar pada larik yang berbunyi Aku tetap meradang menerjang. Pada larik tersebut dapat ditemukan paduan bunyi konsonan / m / pada kata menerjang.
Paduan bunyi konsonan pada posisi akhir hubungan antar kata baik dalam satuan larik maupun antar larik disebut rima. Contoh rima dalam larik,misalnya paduan bunyi /ng/ pada meradang dan menerjang. Rima demikian disebut rima dalam karena paduan bunyi ada dalam larik. Sementara ditinjau dari terdapatnya paduan baik pada bunyi konsonan maupun vokal, rima demikian disebut rima sempurna. Rima akhir dapat ditemukan pada contoh larik-larik puisi “ Aku “ karya Chairil Anwar yang berbunyi Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang. Pada contoh tersebut dapat ditemukan paduan bunyi / ng / pada larik “ Aku ini binatang jalang “ dengan bunyi / ng / pada larik yang berbunyi “ Dari kumpulannya yang terbuang “. Karena paduan bunyi tersebut ditemukan pada kata jalang yang menduduki posisi akhir pada larik Aku ini binatang jalang dengan / ng / pada terbuang yang menduduki posisi akhir pada larik Dari kumpulannya terbuang.
Penggunaan bunyi dalam puisi  juga dapat difungsikan untuk menciptakan suasana tertentu, baik itu suasana riang maupun suasana sedih atau ketertekanan. Vokal  / i  / misalnya serta konsonan  / k / dapat difungsikan untuk menuansakan sedih maupun ketertekanan. Bunyi yang berfungsi menuansakan riang, semangat, gerak yang menyenangkan umum disebut eofoni, sedangkan bunyi yang menuansakan kesedihan, ketertekanan dan kesaratan beban disebut kokofoni                     ( Abrams, 1981 : 57 ).
Terdapatnya asonasi, aliterasi, maupun rima dalam berbagai jenisnya lebih lanjut berperan menciptakan paduan bunyi yang akhirnya mampu menciptakan riteme, serta irama tertentu setelah puisi tersebut dibacakan secara lisan. Irama dalam puisi secara keseluruhan akhirnya selain mampu memberikan efek musikalitas juga mampu memberikan efek keindahan tertentu. Dengan demikian bunyi-bunyi dalam puisi selain dapat difungsikan menunsakan makna, suasana, memberikan efek musikalitas, juga dapat difungsikan untuk menciptakan nilai keindahan tertentu.
2.1.2        Diksi dalam puisi
Menurut Abrams ( 1981 : 140 ) istilah diksi mengacu pada pilihan kata, frase, d bahasa kias dalam karya sastra. Khusus dalam karya sastra puisi, pilihan kata disebut diksi ( poetic diction ) ( Pradopo, 1987 : 54 ). Diksi dalam puisi sangat penting. Melalui puisi penyair hendak mencurahkan perasaan dan  isi pikiran dengan setepat-tepatnya seperti apa yang dialami dalam batinnya. Penyair juga ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwa secara padat d intens. Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya.
Untuk ketepatan pemilihan kata, seringkali penyair menggantikan kata yang dipergunakan berkali-kali, yang dirasa belum tepat, bahkan meskipun puisinya telah disiarkan sering masih juga diubah kata-katanya untuk ketepatan dan kepadatannya. Bahkan ada baris atau kalimat yang diubah susunannya atau dihilangkan. Misalnya Chairil Anwar, begitu cermat ia memilih kata-kata dan kalimat. Misalnya Chairil Anwar memilih kata aku di samping semangat sebagai judul puisi yang sama. Contoh lagi, dalam puisinya yang berjudul “ Drai-derai Cemara “ bait ketiga beris kedua, juga diubah salah satu katanya dalam Kerikil Tajam sebagai berikut :
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Sedangkan dalam versi lain kata terasing diganti jauh. Dalam proses pemilihan kata sering terjadi pergumulan seorang penyiar dalam usaha memilih kata yang benar-benar mengandung arti yang sesuai dengan maksud puisinya, baik arti konotatif maupun denotatif.
Sebuah kata itu mempunyai dua aspek arti, yaitu denotasi dan konotasi. Menurut Abrams ( 1981 : 32 ) istilah denotasi mengacu pada makna primer, seperti halnya arti dalam kamus, sedangkan istilah konotasi menngacu pada makna sekunder, yaitu makna yang menimbulkan asosiasi dan sugesti. Menurut Rene Wellek, bahasa yang denotatif adalah bahasa yang menunjuk pada korespondensi satu lawan satu antara tanda (kata itu) dengan (hal) yang ditunjuk (Wellek, 1962 : 22). Yang seperti ini ideal dalam bahasa ilmiah.
Dalam bahasa sastra khususnya puisi, konotasi kata sangat penting. Makna konotatif adalah jenis makna yang memungkinkan rangsangan dan tanggapan serta mengandung nilai-nilai emosional. Menurut Rahmad Djoko Pradopo, makna konotatif menambah makna denotatif dengan menunjukkan sikap-sikap dan nilai-nilai, dengan memberi daging tulang-tulang arti yang telanjang (Pradopo, 1987 : 59 ). Misalnya, frase sambal tomat pada  larik puisi Rendra yang berjudul “ Di Meja Makan “, seperti di bawah ini :
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
Melelh air racun dosa. (Rendra, 1957 : 11)
Sambal tomat pada mata ; sambal tomat, sambal yang terbuat dari bahan tomat. Sambal itu rasanya pedas, tomat warnannya merah. Kalu dibayangkan sambal tomat ada di mata, maka rasanya pedas, pedih, sakit dan berwarna merah, serta berair mata seperti kalau kena sambal tomat. Pendeknya, bahasa sastra lebih-lebih bahasa puisi, sangat konotatif, ekspresif dan membawa nada dan sikap penyairnya.
Lebih lanjut makna pada tataran kata yang berkaitan dengan makna leksikal dapat berkembang pengertiannya. Sesuai dengan ciri satuan struktur konteks, situasi, maupun aspek sosial budaya yang melatarbelakangi, Suryawinata ( 1986 : 34 ) dalam hal ini menyebutkan adanya sejumlah tataran makna yang meliputi makna leksikal, gramatikal, tekstual, kontekstual, dan makna sosiokultural.
Dihubungkan dengan penelitian ini sebutan makna gramatikal berhubungan dengan satuan pengertian yang dihasilkan oleh unit struktur gramatik berupa larik, makna tekstual  berhubungan dengan totalitas makna dalam teks. Sedangkan makna kontekstual berhubungan dengan penafsiran makna puisi dalam berbagai tatarannya sesuai dengan kontekstual kewacanaannya.

2.1.3        Lirik dalam puisi
Ciri visual dalam puisi yang membedakannya dengan genre sastra lain adalah larik. Sehubungan dengan pengertian larik ini, S. Effendi mengatakan larik-larik itu berujud kalimat atau bagian kalimat, disusun dari atas kebawah (S. Effendi, 1973 : 25 ). Istilah baris atau larik dalam puisi, pada dasarnya sama dengan istilah kalimat dalam karya prosa. Hanay saja sesuai dengan hak kepengarangan (licencia poetica), maka wujud larik, ciri-ciri, dan peranan larik dalam puisi tidak begitu saja disamakan dengan kalimat dalam karya prosa, yang secara jelas diawali dengan huruf kapital dan diakhiri   dengan titik. Selain itu baris dalam puisi sering mengalami pelesapan yakni penghilangan salah satu atau beberapa bentuk kata dalam satu baris untuk mencapai kepadatan dan keefektifan bahasa. Lebih dari itu juga, struktur kalimat dalam puisi sebagai suatu baris tidak selamanya sama dengan struktur kalimat dalam karya prosa.
Kesamaan baris dalam puisi dan kalimat dalam prosa hanya dapat ditautkan dalam hubungannya dengan satuan makna yang dikandungnya. Seperti halnya kalimat, baris puisi pada umunya merupakan satuan yang lebih besar dari kata sebagai kelompok kata yang telah mendukung satuan makna tertentu. Menurut  Slamet Muljana tipografi larik atau baris dalam puisi merupakan lambang pikiran yang dibeberkan (Slamet Muljana, 1955 : 96 ).
Berdasarkan uraiaan di atas dapat disimpulkan bahwa baris atau larik dalam puisi adalah satuan yang lebih besar dan telah memiliki unit pengertian secara utuh. Baris dl puisi merupakan pewadah, penyatu, dan pengemban ide penyair yang diawali lewat kata.
2.1.4        Bait dalam puisi
Satuan yang lebih besar dari baris biasanya disebut bait. Pengertian bait itu sendiri adalah kesatuan larik yang berada dalam satu kelompok dalam rangka mendukung kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik lainnya (Slamet Muljana, 1955 : 100 : Aminuddin, 1987 : 146). Tetapi sesungguhnya dalam bait yang terpenting adalah kesatuan makna yang mendukung pokok pikiran tertentu. Dan bukan kesatuan atau kelompok baris. Sebab bila dikatakan bahwa bait itu merupakan kesatuan baris konsekuensinya satu bait harus terdiri dari lebih dari satu baris. Padahal sering kita jumpai puisi yang bait-baitnya hanya terdiri atas satu baris saja. Misalnya dari penggalan puisi Chairil Anwar yang berjudul Isa dapat dilihat adanya bait yang hanya terdiri dari satu baris.
Peranan bait dalam puisi adalah untuk membentuk satu kesatuan makna dalam rangka mewujudkan pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan satuan makna dalam kelompok baris atau larik lainnya. Pada sisi lain, bait juga berperan dalam menekan atau mementingkan suatu gagasan yang ditungkan penyairnya.
2.1.5        Bahasa kias dalam puisi
Sebagai bagian dari gaya bahasa, bahasa kias terdiri berbagai jenis yang setiap jenis memiliki pengertian dan ciri yang berbeda. Oleh karena itu sebelum dibicaran fungsi bahasa kias dalam puisi lebih awal akan dibahas pengertian dan jenis-jenis bahasa kias.
2.1.5.1  Pengertian bahasa kias
Keraf, dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa (Keraf, 1986 : 129) mengatakan bahwa bahasa kias adalah suatu penyimpangan bahasa terutama dibidang makna, secara efaluatis atau  secara emotif untuk memperoleh kejelasan , penekanan atau suatu efek yang lain . Sedangkan Rahmad Djoko Pradopo menjelaskan bahwa bahasa kias mempersamakan suatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas , lebih menarik dan hidup (Pradopo, 1987:62). Pada sisi lain,  S. Effendi mengatakan dengan pengiasan , sesungguhnya penyair, dengan kemampuan kreatifnya ingin mengatakan sesuatu secermat-cermatnya dan sekongkrit-kongkritnya (Effendi,  1973:57). Sementara Abrams mengatakan bahwa bahasa kias merupakan figures of thought adalah penggunaan kata atau kelompok kata dengan cara memindahkan ciri orientasi maknanya yang sudah lazim, baik melalui perbandingan maupun pertautan (Abrams, 1981 : 63 ).
Dari berbagai pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa kias adalah wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosial pengertian lain secara imaninatif untuk memperoleh kejelasan, penekanan dan untuk menghidupkan gagasan.
2.1.5.2  Jenis-jenis bahasa kias
Jenis bahasa kias ada 5 macam, yakni ( 1 ) metafora, ( 2 ) simile, ( 3 ) personifikasi,    ( 4 ) metonimi, dan ( 5 ) sinedok (Abrams, 1981 : 63-5 ; 1987 : 62 ). Berikut ini akan dibahas jenis0jenis bahasa kias tersebut secara berurutan.
1)      Metafora
Pradopo, ( 1985 : 18 ) mengatakan bahwa metafora adalah semacam analogi yang membangkitkan dua hal secara langsung, tidak menggunakan tanda hubung : seperti, sebagai, tetapi dalam bentuk yang singkat. Sejalan dengan pendapat tersebut dikemukakan oleh Akhmadi ( 1979 : 27 ), yang mengatakan bahwa metafora perbandingan tidak dinyatakan secara eksplisit melainkan implisit. Sedangkan Abrams ( 1981 : 65 ) menjelaskan metafor adalah pemakaiaan kata tertentu yang menunjukkan sesuatu kualitas atau tindakan yang diterapkan pada objek lain sebagai identitas bukan sebagai perbandingan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disarikan, bahwa metafora adalah jenis bahasa kias yang membandingkan dua hal atau wujud yang sebenarnya berbeda, tapi dipersamakan sifatnya secara langsung. Misalnya “ Aku ini binatang jalang / Dari kumpulannya terbuang “ ( Chairil Anwar, 1966 : 7 )
2)      Simile
Sama dengan metafora, simile juga membandingkan dua hal yang pada hakekatnya berlainan, namun sengaja dianggap sama. Dalam simile perbandingan dilakukan secara langsung melalui kata hubung : seperti, serupa, laksana, bagaikan, dan sebagainya (Tarigan, 1985 : 9-10 ). Pendapat lain mengatakan bahwa simile adalah bahasa kias yang membandingkan dua hal secara hakiki berbeda, tapi dipersamakan dengan mempergunakan kata-kata pembanding seperti, serupa, umpama, bagaikan, bak dan sejenisnya ( (Abrams, 1981 : 65 ; Pradopo, 1987 : 62 ).
Bertolak dari pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa simile adalah jenis bahasa kias yang membandingkan dua hal yang sebenarnya berbeda, tetapi dipersamaan secara tidak langsung, dengan menggunakan tanda hubung : seperti, serupa, bagaikan, laksana, bak, dan sebagainya. Misalnya Kutahu kau bukan yang dulu lagi / Bak kembang sari sudah terbagi / (Chairil Anwar, 1966 : 36 ).
3)      Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kias yang menjabarkan benda mati atau abstrak yang diasosiasikan dengan kehidupan atau sifat-sifat manusia (Abrams, 1981 : 65 ). Sejalan dengan pendapat tersebut Ahmadi (1979 : 27 ), mengatakan personifikasi adalah jenis metafor (non human) dengan sifat-sifat manusia. Lebih jelas lagi pendapat yang dikemukakan oleh Rahmad Djoko Pradopo, yang merumuskan pengertian personifikasi sebagai jenis bahasa kias yang mempersembahkan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi membuat hidup lukisan, di samping memberi kejelasan beberan, dan memberikan bayangan angan yang kongrit (Pradopo, 1987 : 75)
Dari pendapat-pendapat di atas, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa personifikasi adalah jenis bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati atau tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia. Misalnya : “ Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia “ (Chairil Anwar, 1966 : 23).
4)      Metonimia
Metonimia adalah jenis bahasa kias  yang mempergunakan  sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hal lain, karena mempunyai pertautan yang sangat dekat (Abrams, 1981 : 65). Sedangkan Pradopo berangkat dari pendapat Altenbernt mengatakan bahwa metonimia adalah bahasa kias pengganti nama, yakni berupa penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Pradopo, 1987 : 77).  Dalam metonimia arti sebuah kata diperluas atau diperkecil dari artinya yang lazim karena diasosiasikan dengan referensi dari kata yang lain (Mukhsin Ahmadi, 1979 : 29).
Dari pendapat-pendapat di atas, akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan, metonimia adalah jenis bahasa kias yang menggunakan nama atau atribut untuk menyatakan suatu hal lain, karena memiliki pertalian yang sangat dekat. Misalnya : “ Pena lebih tajam daripada pusaka “.
5)      Sinekdoke
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani Synekdechestai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke merupakan bahasa kias yang mempergunakan sebagian besar dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan ( Pars   pro  toto ) atau menggunakan keseluruhan hal untuk menyatakan sebagian  ( totem pro  parte ) ( (Abrams, 1981 : 65)  ; (Pradopo, 1987 : 78). Pars pro toto adalah bahasa kias yang melukiskan suatu peristiwa dengan menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Misalnya ……… “ Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai ….. ‘ tangan ‘ dalam kutipan puisi Chairil Anwar tersebut, mewakili keseluruhan aktivitas yang bisa melakukan sesuatu, yakni bekerja. Sedangkan totem pro parte, misalnya, tampak pada larik puisi Subagio Sastrowardoyo, …. Bumi ini perempuan jalang (Subagio, 1971 : 9).
Dalam contoh di atas, yang seperti perempuan jalang tentunya hanya sebagian dari makluk yang ada di bumi, yaitu manusia di lingkungan tertentu, tapi dalam hal ini, seluruh gejala yang ada, yaitu ‘bumi’ diangkat atau digunakan untuk mewakili salah satu makluk yang ada di bumu, yaitu manusia.
2.1.5.3  Fungsi bahasa kias dalam puisi
Telah ditemukan di muka, bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosiasi pengertian lain secara imajinatif untuk memperoleh kejelasan, penekanan, dan untuk menghidupkan gagasan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya bahasa ki digunakan penyair untuk memperjelas, menekankan, dan menghidupkan gagasan yang disampaikan kepada pembaca. Pada sisi lain lain untuk mencapai tujuan  tersebut, penyair berusaha menata dan memilih kata dan kalimat agar mampu mewakili gagasannya secara tepat, misalnya untuk mengungkapkan gagasan penyair tentang sifat Tuhan Yang Maha Penerang, digunakan bentuk perbandingan “ Kaulah kandil kemerlap “. Dengan ungkapan tersebut, penyair berharap agar pembaca dapat memahami apa yang ingin diungkapkan tentang kekuasaan Tuhan dengan sejelas dan sekongrit-kongritnya.
Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa bahasa kias yang dipilih secara tepat dapat menolong pembaca untuk merasakan atau melihat apa yang dirasakan atau apa yang dilihat penyairnya. Hal itu seperti apa yang dikemukakan oleh Rahmad Djoko Pradopo, bahwa bahasa kias dapat menciptakan gambaran angan atau               menyerupai (gembaran)yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan, dan daerah otak yang bersangkutan (Pradopo, 1987 : 80).
Berkaitan dengan citraan tersebut Rene Wellek menyebutkan 3 jenis citraan yaitu        ( 1 ) citraan yang berkaitan dengan cita rasa penciptaan ‘ qustatory images ‘, ( 2 ) citraan yang berkaitan dengan cita rasa penciuman ‘ olfactory images’, dan ( 3 ) citraan yang berkaitan dengan suhu dan tekanan kinaesthetic / emphatic images’ (Wellek, 1968 : 187). Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat yang dikemukakan oleh Rahmad Djoko Pradopo. Berangkat dari pendapat Altenbernd (1970) dan Burton (1977) Pradopo mengemukakan 6 jenis citraan, yakni (1) citraan penglihatan ‘visual imagery’, (2) citraan pendengaran ‘auditory imagery’, (3) citraan penciuman ‘ smell imagery ‘, (4) citraan perasaan dan pencecapan ‘taste imagery’, (5) citraan rabaan ‘thermal imagery’, dan (6) citraan pikiran ‘ intelectual imagery’ ((Pradopo, 1985 : 29)
Citraan penglihatan ‘ visual imagery ‘, yakni gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera pengelihatan (mata). Dengan demikian jika pembaca menghayati puisi itu, seolah-olah ia melihat sesuatu itu. Misalnya “ Engkau pelik menarik, ingin serupa dari di balik tirai “.
Citraan pendengaran  ‘auditory imagery ‘, yakni gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera pendengaran. Dengan citraan pendengaran ini diharapkan jika pembaca menghayati puisi, seolah-olah mendengar sesuatu itu. Misalnya : “ hanya ular yang mendesis dekat sumber ‘.
Citraan penciuman ‘smell imagery’ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera penciuman. Dengan imaji penciuman ini pembaca apabila menghayati puisi, seolah-olah mencium sesuatu itu. Misalnya : “Dua puluh tiga matahari, bangkit dari pundakmu, Tubuhmu menguapkan bau tanah “.
Citraan pencecapan ‘ taste imagery’ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera pencecapan. Dengan citraan pencecapan ini pembaca puisi apabila menghayati puisi tersebut, seolah-olah merasakan sesuatu yang digambarkannya, misalnya “ Hari mekar dan bercahaya, yang ada hanya surga, neraka adalah rasa pahit di mulut waktu bangun pagi ‘.
Citraan rabaan ‘thermal imagery’ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melauli indera rabaan. Dengan citraan rabaan ini diharapkan pembaca puisi yang menghayatinya akan tergerak indera rabaannya. Misalnya “ luka dan bisa kubawa lari, Berlari, Hingga hilang pedih peri “.
Terakhir adalah citraan pikiran ‘ intelectual imagery ‘ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui aspek pikiran. Dengan citraan ini diharapkan pembaca puisi akan bergerak pikirannya untuk membanyangkan sesuatu yang digambarkannya. Misalnya, Bedah perutnya tapi masih setan ia menggeretak kuda, di tiap ayun menungging kepala.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan bahasa kias, yang diungkapkan secara dan cermat, dapat menimbulkan citraan, gambaran angan ‘ image imagery’ penyair yang dapat membantu pembaca untuk menangkap gagasan yang akan dituangkan.
2.2    Lapis Makna Puisi
Sebagai satu kesatuan yang dibentuk oleh berbagai unsur intrinsik tertentu, puisi menurut Rene Wellek (1968 : 151) dapat dipilih menjadi dua lapis utama, takni (1) lapis bunyi, dan (2) lapis arti. Lapis arti pada tataran berikutnya akan membuahkan lapis objek atau dunia realita, lapis objek yang dapat dipandang dari sudut pandang tertentu, serta objek yang bersifat metafisis.
Berkaitan dengan lapis arti yang dikemukakan oleh Rene Wellek di atas, I.A. Richards (1973 : 181) memilah makna puisi menjadi sejumlah unsur dan tingkatan. Unsur tingkatan itu meliputi (1) sense, yaitu sesuatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkan, (2) subject matter, yaitu pokok permasalahan atau pokok pikiran yang akan dikemukakan oleh penyair, (3) feeling, yaitu sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan oleh penyair, (4) tone, yaitu sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok persolan yang dikemukakannya, (5) intention, yaitu tujuan yang melandasi penyair, (6) total of meaning, yaitu makna keseluruhan dalam suatu puisi, dan (7) theme, yaitu ide dasar dari suatu puisi yang menjadi saripati makna keseluruhan puisi.
Pemilihan lapis makna, selain diorientasikan pada keberadaan puisi sebagai gejala fenomenologi seperti dilakukan oleh Wellek, atau sebagai gejala komunikasi seperti yang dikemukakan Richards, juga dapat diorientasikan pada wujud objektif puisi sebagai paparan bahasa. Apabila kita mengaji pada wujud objektif, puisi sebagai paparan bahasa, aspek pembangunannya dapat disegmentasikan menjadi sejumlah tingkatan. Segmentasi tingkatan ini meliputi kata baris, kumpulan baris atau bait, dan puisi itu sendiri sebagai satuan teks yang utuh.
Bertumpu pada segmentasi tersebut, maka lapis makna puisi dapat dipilih menjadi lapis makna pada tataran kata, baris, kumpulan baris atau bait, dan pada tataran satuan teks. Model pemilihan lapis makna dalam penelitian ini adalah pemilihan lapis makna yang bertumpu pada teks puisi itu sendiri. Sejalan dengan model pemilihan lapis makna yang berangkat dari teks puisi, maka dalam uraian ini akan dibahas (1) makna kata dalam puisi, (2) pokok pikiran dalam puisi , (3)  totalitas makna dalam puisi, dan (4) tema puisi.
2.2.1        Makna kata dalam puisi
Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata. Kata-kata dalam puisi adalah kata berjiwa. Dalam kata yang berjiwa terasa perasaan dan sikap penyair. Seperti apa yang dikatakan oleh Slamet Mulyana (1956 : 4) bahwa puisi mempunyai nilai seni apabila pengalaman jiwa (penyair) yang menjadi dasar dapat dijilmakan ke dalam kata.
Peranan kata dalam tagam sastra seperti halnya puisi tidak tidak berbeda dengan ragam komunikasi sehari-hari. Kata dalam puisi pada dasarnya merupakan pengemban ide atau pengertian. Perbedaannya hanya terletak pada tujuan pembuahan pengertiannya. Pembuahan pengertian kata dalam ragam komunikasi umum ialah untuk menyusun dan memahami secara benar, sedangkan dalam puisi sebagai salah satu bentuk komunikasi sastra penyair dalam membuahkan pengertian kata , selain untuk  menyampaikan gagasannya, juga berkaitan erat dengan upayanya memperkaya gambaran makna dalam kata yang dipilihnya. Misalnya, kata ‘ matahari ‘bagi seorang penyair dapat diberi pengertian ‘ kehidupan ‘. Sementara dalam komunikasi umum atau ilmiah kata ‘matahari’ diartikan salah satu jenis planet yang berciri X’. Tegasnya dunia yang diciptakan oleh penyair lewat kata-kata yang dipilih bersifat simbolis sekaligus imajinatif. Sebagaimana dikatakan oleh Wellek (1968 : 23) bahasa sastra penuh dengan konotasi makna, penuh dengan ambiguitas, serta penuh dengan asosiasi.
Penggunaan kata dalam puisi seorang penyair bukan hanya diselaraskan dengan ide yang akan dikemukakan dan digambarkan, tetapi juga yang memperhatikan adanya pola persajakan dan paduan bunyi untuk memperdalam makna yang akan dikemukakan. Oleh karenanya, dalam usaha memahami makna yang terkandung puisi, seorang pembaca harus memahami makna kata yang mendukungnya.
2.2.2        Pokok pikiran puisi
Kata, baris, kelompok baris dalam puisi sebagai pewadah ide dan konsep seorang penyair senantiasa mengandung makna di dalamnya. Makna yang dikandung oleh kata, baris dan kelompok baris tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi mendukung suatu keseluruhan yang utuh  dan padu, dalam rangka membangun makna  utuh (I.A. Richards, 1973 : 309).
Ada peranan kata, baris, dan kelompok baris sebagai pewadah ide dan konsep penyair, maka ide itu atau konsep penyair akan mewujud diri lewat kata, baris, ataupun kelompok baris. Ide konsep lebih lanjut akan berada dalam satuan pokok pikiran tertentu yang diwadahi oleh baris atau sejumlah baris. Dan keseluruhan pokok pikiran itu akan mendukung adanya makna itu puisi .
Konsep serta ide seorang penyair memiliki kemungkinan yang sangat luas dan kompleks , sesuai dengan kompleksitas suasana batin penyair sendiri dalam menanggapi segala yang ada dan mungkin ada .
2.2.3        Totalitas makna dalam puisi
Sebagai salah satu hasil kreatifitas seorang penyair , puisi merupakan bentuk komplek yang didukung oleh bermacam aspek, dan  masing- masing tersebut menunjukan adanya keselaran yang indah dan padu. Menurut Wellek (1968:52)aspek-aspek tersebut dapat disejajarkan dengan lapis yang membentuk satu kesatuan, meliputi lapis bunyi, lapis makna, lapis objek,yang diciptakan pengarang, lapis dunia yang dilihat dari sudut pandang tertentu, serta lapis yang bersifat metafisis.
Dalam memilahkan lapis –lapis yang membangun suatu karya sastra         (puisi ),Wellek meletakan lapis makna ini pada lapis yang kedua,yang didukung oleh kata berasa dalam konteks dan satuan tertentu dalam relasi sintagmatis serta pola kalimatnya (Wellek, 1968:151). Keseluruhan aspek yang mendukung lapis makna tersebut pada dasarnya merupakan unsur dari suatu karya puisi, sebagai alat dalam mewujudkan makna itu sendiri. Sedangkan totalitas makna yang didukung oleh aspek tersebut didalamnya meliputi sense, feeling, tone, dan intention, yang lebih lanjut akan membuahkan tema yang mendasari keseluruhan puisi .
Dari uraian diatas dapat dimbil kesimpulan bahwa untuk dapat memahami makna puisi, seorang pembaca harus dapat memahami makna kata, pokok pikiran dalam bait, sikap penyair dan tema yang di kandungnya.
2.2.4        Tema dalam puisi
Istilah “ tema “ (Ing : theme) berasal dari bahasa Yunani, yang berarti tempat, ketatapan, meletakkan. Dalam puisi pengertian tema diartikan ide dasar yang menjadi saripati keseluruhan makna puisi (Aminuddin, 1987 : 151).
Pemahaman tema puisi, tidak cukup hanya dengan memparafrasekan puisi ke dalam bentuk prosa, atau dengan memahami latar belakang kehadiran serta tujuan penciptanya. Dalam hal ini seorang pembaca perlu memahami pengalaman kehidupan yang dituangkan penyair, memahami sikap penyair, serta memahami makna utuh yang dikandungnya. Dari pemahaman keseluruhan itu seorang pemnaca diharapkan dapat menyimpulkan ide dasar atau tema puisi.
2.3    Aspek Keindahan dalam Puisi
Istilah keindahan atau estetis, berasal dari bahasa Yunani aesthesis yang berarti  ‘ perasaan ‘ pencerapan, persepsi “. Kata itu untuk pertama kali dipakai oleh Baumngarten (1762 ), seorang filsuf Jerman, untuk menunjukkan cabang filsafat yang berurusan dengan seni dan keindahan (Dick Hartoko, 1983 : 8). Disiplin keilmuan yang lazimnya menjadi salah satu cabang yang mengaji masalah keindahan disebut estetika. Dalam perkembangannya, keindahan selain dihubungkan dengan pengalaman batin penanggap, juga dihubungkan dengan wujud gejalanya sendiri. Perkembangan demikian terjadi selain keindahan itu tidak pernah berdiri sendiri, juga sejalan dengan upaya mengkaji keindahan secara objektif.
Sejalan dengan terdapatnya unsur paparan bahasa dalam lapis makna puisi, aspek-aspek keindahan dalam karya sastra (puisi ), berkaitan dengan (1) bunyi, (2) diksi, (3) unit struktur, dan (4) nuansa makna. Masing-masing unsur tersebut tidak berdiri secara terpisah-pisah, tetapi berada dalam keselarasan dan kesatuan.
Aspek bunyi dalam puisi disebut berperan dalam menuansakan keindahan, karena pilihan bunyi dalam puisi dapat memberikan keindahan, karena pilihan bunyi dalam puisi dapat memberikan efek (1) musikalitas, (2) irama, (3) nuansa makna, dan (4) gembaran hubungan antar unsur pembangun puisi secara asosiatif, yang lebih lanjut menciptakan keselarasan hubungan antara unsur dalam puisi. Pradopo, 1987 : 22) mengatakan bunyi dalam puisi bersifat estetik dan merupakan unsur bunyi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga yang ekspresif. Di samping itu bunyi juga dapat menimbulkan suasana khusus. Paduan bunyi “ Aku manusia / rindu rasa “ sebagai rima akhir misalnya, dapat menggambarkan hubungan sintagmatis antara larik antara “ Aku manusia “ dan  “ rindu rasa “.
Seperti telah disinggung di depan, diksi berperanan dalam menampilkan citraan yang sesuai dengan kesatuan (unity) dalam hubungannya antar unit struktur yang menimbulkan (unity) dalam hubungannya antar unit struktur yang menimbulkan bahasa kias dalam berbagai jenisnya. Pada sisi lain, diksi juga mampu memberikan efek suasana penggambaran dunia tertentu secara imajinatif, serta menciptakan kesatuan hubungan antar unsur pengembangan puisi sebagai suatu teks. Peranan diksi tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa kata-kata dalam puisi merupakan “lexical set” yakni butir kata dalam teks yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan totalitas teksnya (Cumming, 1986 : 176 ).
Diksi tersebut mampu berperan dalam menciptakan nunsa suasana karena pilihan kata maupun kelompok kata yang dilakukan oleh seorang penyair pasti mempertimbangkan kemungkinan gambaran dunia yang dipantulkan secara imajinatif serta berbagai macam asosiasi yang dibuahkan. Bervield (dalam Pradopo, 1987 : 54) mengatakan bahwa bila kata yang dipilih dan susunan dengan cara yang sedemikian rupa akan menimbulkan imaji estetik maka hasilnya akan disebut diksi puitis. Lebih dari itu pilihan kata dalam kelompok kata tentunya mempertimbangkan efek suasanannya, baik yang tercipta melalui ciri bunyi yang mendukung struktur katanya maupun ciri gambaran objektifitasnya. Diksi yang berbunyi “ binatang jalang “ misalnya, akan memberikan efek yang berbeda bila dibandingkan dengan hewan liar. Dalam komunikasi sehari-hari seorang yang marah lebih hidup bila digambarkan dengan misalnya “ Ia mengebrak “ “Ia memukul meja “.
Kata-kata dalam puisi seperti yang diungkapkan oleh Cumming (1986 : 176 ) bukan seperti kosa kata yang terdapat dk kamus, tetapi merupakan perangkat “ lexical set “ yang membangun kesatuan teks. Dengan demikian tebaran diksi yang ada dalam baris-baris yang berbeda, misalnya antara yang satu dengan yang lain, harus mampu menjalin keselarasan hubungan semantis maupun kesatuan hubungan tinjauan dari aspek formalnya.  Sebagai contoh penggunaan kata meradang menerjang pada larik ke ke-8 puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku mempunyai tautan dengan kata terbuang pada larik ke-6 dan jalang pada larik ke-5. Kata-kata tersebut pada dasarnya mempunyai fungsi anaforik yang lebih lanjut mampu menciptakan keseluruhan kesatuan.
Aspek keindahan, selain dapat ditampilkan oleh aspek bunyi dan diksi, juga dapat ditampilkan oleh aspek unit struktur, baik berupa satuan bahasa kias maupun berupa satuan baris. Tidak berbeda dengan diksi, unit struktur dalam memberikan efek keindahan selain berperanan menggambarkan dunia tertentu secara imajinatif juga menciptakan kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony). Larik yang berbunyi “ kamu tak seorang ‘kan merayu “ dalam puisi Aku misalnya, akan memberikan gambaran dunia yang berbeda apabila diungkapkan dalam bentuk “ Aku mau tidak seorang akan merayu “. Selain itu gambaran suasana yang ditampilkannya pun berbeda karena terdapatnya penghilangan bunyi /a/ pada aku. Misalnya lagi penggantian “tak” dan penghilangan /a/ pada akan dapat menggambarkan suasana kekesalan dalam hati dan semangat.
Lebih lanjut penghilangan bunyi-bunyi dalam unit struktur juga berperan dalam menciptakan paduan bunyi, keselarasan aspek-aspek yang membangun unit struktur. Misalnya penghilangan bunyi-bunyi pada larik ke-2 “ku mau tak seorang ‘ kan merayu “ puisi Aku, ternyata mampu menampilkan keselarasan antara unit tersebut dengan unit struktur pada larik ke-3 “tidak juga kau “. Kesatuan hubungan antar unit tersebut lebih lanjut juga berperan dalam menciptakan keselarasan hubungan semestinya.




Pengertian Puisi

A. Pengertian Puisi

                Secara etimologi kata puisi berasal  dari bahasa Yunani ‘poema’ yang berarti membuat, ‘poesis’ yang berarti pembuat pembangun, atau pembentuk. Di Inggris puisi disebut poem atau poetry yang artinya tak jauh berbeda dengan to make  atau  to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi disebut maker. Puisi diartikan sebagai pembangun, pembentuk atau pembuat, karena memang pada dasarnya dengan mencipta sebuah puisi maka seorang penyair telah membangun, membuat, atau membentuk sebuah dunia baru, secara lahir maupun batin (Tjahyono, 1988: 50).
Sulit membuat batasan yang memuaskan terhadap pengertian puisi. Namun demikian perlu diterangkan beberapa definisi atau pendapat dari beberapa ahli sastra tentang puisi, untuk memperluas pandangan mengenai pengertian puisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima serta penyusunan lirik dan bait (Depdikbud, 1988: 706).
HB. Jassin (1991: 40) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan perasaan. Seperti diketahui selain penekanan unsur perasaan, puisi juga merupakan penghayatan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya di mana puisi itu diciptakan tidak terlepas dari proses berfikir penyair. Bahkan aktivitas berfikir dalam puisi merupakan keterlibatan yang sangat tinggi, seperti yang diungkapkan Matheew Arnold  yang dikutip Situmorang : “Poetry is the highly organized form of intellectual activity” (Situmorang, 1983: 7). Lebih lanjut Matheew Arnold mengatakan puisi adalah satu-satunya cara yang paling indah, impresif, dan yang paling efektif mendendangkan sesuatu. Demikian pula yang dinyatakan oleh John Dryen, puisi adalah musik yang tersusun rapi. Puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan menurut Isaac Newton (Situmorang, 1991: 8–9). Thomas Chalye yang dikutip Waluyo mengatakan puisi merupakan ungkapan pikiran yang bersifat musikal (Waluyo, 1991 : 23 ).
Selain unsur musikal, puisi juga merupakan ekspresi pikiran dan ekspresi perasaan yang bersifat imajinatif. Hal-hal seperti yang dinyatakan para ahli yang dikutip H.G Tarigan dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Dasar Sastra” sebagai berikut: (a) Samuel Johnson : puisi adalah seni pemaduan kegairahan dengan kebenaran, dengan mempergunakan imajinasi sebagai pembantu akal pikiran, (b) William Wordsworth : puisi adalah luapan spontan dari perasaan yang penuh daya, memperoleh rasanya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali ke dalam kedamaian, (c) Lord Byron : Puisi adalah lavanya imajinasi, yang letusannya mampu mencegah adanya gempa bumi, (d) Lescelles Abercrombie : Puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat. Dari beberapa pendapat tersebut dapat dirumuskan bahwa puisi adalah bentuk karangan kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan mengekspresikan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama secara imajinatif, dengan menggunakan unsur musikal yang rapi, padu dan harmonis sehingga terwujud keindahan. Jadi puisi adalah cara yang paling indah, impresif dan yang paling efektif dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.